Jumat, 01 Maret 2019

Kesenjangan Sosial Ibukota yang Memedaskan Mata



Pemandangan pemukiman kumuh di antara gedung-gedung tinggi merupakan pemandangan yang lumrah kita temui di sepanjang jalur commuter line DKI Jakarta. Hal ini menjadi salah satu potret kesenjangan sosial yang dapat kita amati di ibukota. Seperti pendapat Djarot Saiful Hidayat, Gubernur DKI Jakarta tahun 2017, masalah DKI Jakarta bukanlah kemiskinannya, tetapi kesenjangannya yang tinggi. Hal ini disebabkan karena orang paling kaya dan orang miskin banyak tinggal di Jakarta (Hariyanto, 2017). Dari mulai hunian apartemen dengan harga ratusan juta rupiah per meter persegi hingga keluarga yang hanya tinggal di dalam gerobak ada di Jakarta.

Kesenjangan sosial adalah suatu keadaan ketidak seimbangan sosial yang ada dalam masyarakat yang menjadikan suatu perbedaan yang sangat mencolok (Soekanto dalam Yasminiati, 2015). Salah satu faktor penyebab kesenjangan tersebut adalah faktor ekonomi berupa kemisikinan. Berdasarkan data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) pada Maret 2018, persentase penduduk miskin di Jakarta mencapai 3,57 persen atau mencakup sebanyak 373,12 ribu orang. Gini Ratio DKI Jakarta pada Maret 2018, diperkirakan sebesar 0,394. Nilai Gini Ratio berkisar antara 0 – 1, semakin tinggi nilai Gini Ratio menunjukkan ketimpangan yang semakin tinggi (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2018).

Kemiskinan sebagai salah satu penyebab kesenjangan sosial yang lebar dapat menyebabkan masalah-masalah sosial lain seperti kesehatan, pendidikan, dan angka kriminalitas yang tinggi. Salah satu contoh permasalahan di bidang kesehatan adalah tingginya prevalensi gizi buruk di Jakarta. Berdasarkan pemaparan Dinas Kesehatan DKI Jakarta pada tahun 2017, prevalensi gizi buruk akibat stunting pada usia 0-59 bulan di Provinsi DKI Jakarta mencapai 22,7% dengan kasus tertinggi di Jakarta Pusat (29,2%) dan tertinggi kedua di Jakarta Timur (25,7%). Angka ini termasuk kategori akut kronis karena di atas batasan WHO yakni >20 persen (Bappeda Provinsi DKI Jakarta, 2018). Contoh lain kesenjangan di bidang pendidikan terjadi di Jakarta Utara, pelajar yang bersekolah ada sekitar 52%, ini berarti ada 48% yang tidak bersekolah. Menurut Anies Baswedan yang merupakan pakar dan mantan menteri pendidikan, angka ini menunjukkan kesenjangan yang jauh (Yusuf, 2017). Meskipun biaya pendidikan sudah disubsidi oleh pemerintah, yang menjadi masalah adalah ketidakmampuan dalam memenuhi biaya transportasi pendidikan yang cukup tinggi di Jakarta. Selain itu, permasalahan lain yang ditimbulkan oleh kesenjangan sosial adalah tingginya angka kriminalitas di Jakarta yang ditunjukkan dengan Polda Metro Jaya sebagai peringkat pertama Polda dengan kejahatan terbanyak yaitu mencapai 43.842 kejahatan pada tahun 2016 (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2017).

Kesenjangan sosial merupakan salah satu isu yang erat kaitannya dengan masyarakat urban (perkotaan). Perkotaan sebagai pusat kegiatan ekonomi dianggap menawarkan lapangan pekerjaan yang lebih menjanjikan. Namun, jika masyarakat desa yang berbondong-bondong pergi ke kota untuk mencari pekerjaan itu tidak memiliki kualitas SDM yang memadai, ini dapat menjadi permasalahan. Pada akhirnya, mereka mungkin menjadi pengangguran yang menciptakan pemukiman pada tanah yang sudah bertuan. Pemukiman tersebut tidak dibuat sebagaimana mestinya sesuai standar kelayakan, karena memang tidak dibangun di atas tanah hak milik pribadi sehingga sewaktu-waktu bisa saja digusur oleh pemilik tanah yang sebenarnya. Sanitasi yang buruk dan pemenuhan kebutuhan dasar yang alakadarnya membuat masyarakat pada kalangan tersebut memiliki standar kualitas hidup yang rendah. Inilah yang menjadikan jarak antara si miskin dan si kaya di perkotaan semakin senjang.

Solusi yang ditawarkan pemerintah seperti subsidi sembako dan perumahan di ibukota sudah cukup baik. Namun, meskipun kesenjangan sosial terjadi paling tinggi di perkotaan, penyelesaian masalah sebaiknya juga dilakukan dari wilayah pedesaan. Potensi agrikultural di wilayah pedesaan juga harus terus dimaksimalkan, agar masyarakat desa tidak terus menerus pergi ke ibukota untuk mencari lapangan pekerjaan yang belum tentu menjanjikan.

Kontrol Diri dari Dalam, Rendah Hati pada Alam

Tulisan ini akan lebih banyak bicara refleksi diri, Tentang keberadaan diri yang kadang lupa diri, Tinggal bersama alam namun kita seakan...