Minggu, 23 Desember 2018

Memperlakukan Orang Lain sebagai Subjek, Bukan Objek



Seringkali dalam kehidupan sehari-hari kita membutuhkan orang lain untuk membantu pekerjaan kita. Namun, apakah kita menghargai orang lain tersebut hanya ketika kita membutuhkannya? Atau men-spesial-kan ia hanya karena sesuatu yang dia punya dan tidak kita punya? Lalu, bagaimana jika ada orang lain yang tidak memberikan manfaat untuk kita namun malah menyusahkan kita?

Seiring bertambahnya dewasa, bertambah angka pada umur, mungkin ini saatnya untuk kita melihat orang lain sebagai subjek. Melihat orang lain sebagai orang yang sama-sama memiliki pikiran dan perasaan. Melihat orang lain bukan karena 'ia siapa', 'ia punya apa'. Kita tidak bisa mengendalikannya hanya untuk kepentingan kita. Bertanyalah, bukan sekadar menyuruh. Ketika kita ingin menyuruh ia berbuat kebaikan, tanya dulu 'mengapa ia memilih berbuat yang tidak baik?'. Mungkin jika seperti ini, kita menjadi orang yang berempati, bukan malah sering memaki.

Lalu, bagaimana jika kita dihadapkan pada orang yang membuat kita susah atau berbuat kesalahan pada kita? Apakah kita berhak memarahinya? Jika itu suatu bentuk hukuman dengan niat baik agar dia berubah, maka boleh. Namun apa jadinya jika kemarahan itu hanya suatu bentuk ungkapan dengan tujuan melepaskan amarah kita? Bagaimana jadinya bila orang itu sakit hati?

Ketika kamu menyakiti orang lain, ingatlah bahwa bisa jadi orang yang kita sakiti itu adalah orang yang paling spesial untuk keluarganya, untuk ibunya, untuk ayahnya, atau untuk kakak dan adiknya. Punya hak apa kita tidak mengurusnya tapi berani menghakiminya?

Tulisan ini merupakan sebuah ungkapan penulis yang sedang merasa 'jengah' dan teringat dengan pertanyaan dalam games mobile legend 'why people hurt each others?'. Sebagai seorang mahasiswa psikologi dan tertarik dalam psikologi sosial, penulis merasa sangat penting bagaimana kehidupan bersosial kita. Sudah seharusnya kita berbuat baik pada orang lain, karena kita pun menginginkan hal yang baik.

Di satu titik, mungkin kita pernah menyakiti orang lain dengan ketidak sengajaan. Tetaplah jangan lupa untuk meminta maaf. Perlakukanlah orang lain sebagai subjek sebagaimana kita ingin diperlakukan, bukan sebagai objek yang kita butuhkan karena apa yang ia punya.

Sebagai seorang Muslim, lihatlah bahwa Rasulullah SAW. pun mencontohkan bagaimana mulianya akhlak yang ia tampilkan dalam kehidupan. Setiap orang yang berjumpa dengannya selalu merasa sebagai orang yang paling di-spesial-kan olehnya. Ketika melihat orang yang berbuat kesalahan, Rasulullah bukan menghakiminya. Tapi justru kasihan melihatnya, meminta agar Allah memberikan hidayah untuknya. Semoga kita diberi kekuatan hati agar bisa menjadi orang baik di mana pun dan pada siapa pun. Baik yang tidak hanya kita tampilkan di luar, tetapi kebaikan dari hati yang terdalam dan memancar ke luar.

Rabu, 07 November 2018

Teduhkan Bumi Allah dengan Akhlakul Karimah


Tidaklah aku diutus ke semesta kecuali untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad)

‘Aisyah r.a. pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW., maka beliaupun menjawab, “Akhlak beliau adalah (melaksanakan seluruh yang ada dalam) Al-Qur’an.”




Salah satu contoh akhlak Al-Qur’an adalah mampu menahan marah saat emosinya bergejolak dan memaafkan kesalahan orang lain.

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran : 133-134)

Ini dibuktikan oleh Rasulullah SAW. dan kisah beliau bersama seorang pengemis Yahudi yang buta. Pengemis tersebut selalu mengatakan di sudut pasar “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”

Rasulullah SAW. selalu mendatangi pengemis tersebut setiap pagi. Namun, bukan untuk membalasnya, melainkan memberikannya makanan. Bahkan, Rasulullah SAW. selalu menyuapi sang pengemis tanpa berkata-kata. Kebiasaan tersebut berlangsung hingga Rasulullah SAW. wafat. Hingga akhirnya digantikanlah kebiasaan itu oleh Abu Bakar r.a. Sang pengemis menyadari bahwa yang menyuapinya adalah orang yang berbeda, karena Rasulullah SAW. selalu menghaluskan terlebih dahulu makanan yang akan diberikan sehingga sang pengemis lebih mudah untuk mengunyahnya.
Sang pengemis bertanya kepada Abu Bakar, “siapakah kamu?” Seraya menangis, Abu Bakar menjawab, “aku memang bukan orang yang biasa datang padamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang mulia itu telah tiada. Ia adalah Rasulullah Muhammad SAW.” Pengemis itu pun ikut menangis seraya berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sediktpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.” Di hadapan Abu Bakar, akhirnya pengemis Yahudi buta tersebut bersyahadat.

MasyaAllah, luar biasanya akhlak Rasulullah SAW. Lalu, apa jadinya kita bila dihadapkan pada situasi tersebut? Barangkali kita sudah marah, tak sudi rasanya berbuat baik kepada orang yang terus-menerus menghina kita padahal orang tersebut tidak mengenal kita dengan baik, atau bahkan bisa saja kita meracuni makanan tersebut karena dendam. Tapi begitulah Rasulullah dan akhlak Al-Qur’annya yang mulia.

Islam mengatur semua aspek dalam kehidupan, termasuk bagaimana kita bersikap dan bertingkah laku. Islam mengatur bagaimana kita berakhlak kepada Allah, kepada manusia, juga kepada alam sekitar. Aturan tersebut tidak lain dimaksudkan agar manusia tetap berada dalam koridor kebaikan.
Akhlak kepada Allah dapat kita buktikan dengan mentauhidkan-Nya, hanya beribadah kepada-Nya, dan semua yang kita lakukan ikhlas karena Allah SWT. Dengan begitu, kita hanya melihat Allah dalam segala maksud dan tujuan kegiatan kita. Kita tidak akan kecewa bila manusia tidak melihat pekerjaan kita, karena hanya Allah yang dituju, hanya penilaian Allah yang kita perhatikan. Sikap seperti ini akan membuat kita memiliki mental yang kuat, tidak sombong karena pujian, tidak kecewa karena hinaan. Selalu berani selama kita berada dalam jalan kebenaran, tentunya apa yang benar menurut Islam, bukan pembenaran menurut kita sendiri.

Islam juga mengatur bagaimana kita berakhlak kepada manusia. Seperti birrul walidain (berbakti kepada orang tua), berbuat baik kepada tetangga, berlaku adil kepada siapapun, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Diizinkan Allah untuk bisa memasuki surganya memang sangat membahagiakan. Tetapi lebih bahagia lagi bila kita dapat masuk ke dalam jannah-Nya secara beramai-ramai, karena saling ber-amar ma’ruf nahi munkar sewaktu di dunia. Sementara itu, jikalau ada orang lain yang berbuat tidak baik kepada kita, maka balaslah dengan kebaikan, dengan senjata akhlakul karimah.

Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S. Fushilat : 34)

Akhlak kepada alam sekitar juga harus kita perhatikan. Salah satu nikmat yang Allah berikan kepada manusia adalah dengan menundukkan alam agar dapat dimanfaatkan oleh manusia. Dari mulai hewan yang diambil daging, susu, dan tenaganya, tanam-tanaman untuk makanan dan obat-obatan, serta sumber daya alam lain yang dapat dijadikan sumber energi. Maka sudah sepantasnya kita berkasih sayang kepada makhluk Allah lainnya, kepada binatang dan tanam-tanaman, serta menjaga kebersihan dan kelestarian alam. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang tidak disukai Allah karena berbuat kerusakan di muka bumi.

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qasas : 77)

Mempraktikkan akhlak mulia sesuai ajaran Islam insyaAllah bisa mengantarkan kita pada derajat sebaik-baik manusia.

Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari 6035)
Semoga kita bisa membuat bumi Allah ini lebih nyaman untuk ditinggali dengan teduhnya akhlak mulia yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Referensi :
·         Mujilan, dkk. 2008. Buku Ajar Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Agama Islam, Membangun Pribadi Muslim Moderat. Jakarta : Midada Rachma Press.
·       Rauf, A. A. A. 2011. Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah. Jakarta : Haqiena Media, Markaz Al-Qur’an.

Collaboraction sebagai Peran Multipihak dalam Upaya Perlindungan Pekerja Rumahan


PENDAHULUAN

Ketika mendengar kata ‘pekerja rumahan’, kebanyakan masyarakat mengasosiasikannya dengan pekerja rumah tangga. Hal tersebut merupakan sebuah kekeliruan karena yang dimaksud pekerja rumahan adalah seseorang yang mengerjakan sebahagian produksi perusahaan, namun dikerjakan di rumah atau tempat lain yang dipilih sendiri oleh pekerja (Ros, 2018).
Permasalahan pekerja rumahan tidak sebatas pada pemahaman terhadap termnya sendiri, namun juga terjadi pada aktivitasnya di masyarakat. Jam kerja yang dibebankan kepada pekerja rumahan sering tidak sebanding dengan upah yang dibayarkan. Jam kerja pekerja rumahan di Medan memiliki rentang 12 bahkan 15 jam per hari dengan kisaran upah Rp. 3.500,00 – Rp. 15.000,00 per hari sangat jauh dengan UMK Medan yang berada pada kisaran Rp. 100.000,00 per hari. Pekerja rumahan juga tidak mendapatkan hak-hak seperti layaknya pekerja formal lainnya, seperti jatah cuti, lembur, jaminan sosial, serta keselamatan dan kesehatan kerja.
Salah satu hal yang pekerja rumahan tidak didaftarkan pada jaminan sosial adalah tidak ada perjanjian kerja dengan pemberi kerja, sehingga antara pekerja dengan pemberi kerja tidak memiliki hubungan kerja (Aprilia, 2018). Sebsnyak 99% pekerja rumahan tidak memiliki kontrak tertulis. Data tentang nama, jumlah barang, waktu penerimaan dan penyetoran barang biasanya hanya terdapat di satu pihak, yaitu pengusaha (Cecil, 2018).
Jenis pekerjaan rumahan juga biasa dikenal sebagai pekerjaan borongan. Pekerjaan ini merambah dalam banyak komoditas, seperti batik (kain, kulit, kayu), tenun, konveksi, meubel (kayu dan rotan), kulit, tanah (gerabah, dll), makanan, monel, dll. (Swastuti, 2016). Pekerja rumahan memang banyak secara kuantitas, namun masih perlu dipertanyakan dalam hal kualitas. Upah yang diterima pekerja rumahan di Indonesia tidak sesuai dengan jam kerja yang dibebankan. Contohnya pekerjaan rumahan di Malang yang bekerja mengupas bawang hanya dihitung seharga Rp.1000,00 per kg. Dalam waktu satu hari dapat dihasilkan satu karung bawang yang berisi sekitar 60 kg yang dikerjakan oleh 3-4 orang, sehingga rata-rata per orang tidak mendapatkan upah lebih dari Rp.20.000,00 dalam sehari. Di Kalimantan Barat juga terdapat jenis pekerjaan rumahan berupa membungkus tempe yang dihargai Rp. 400,00 per satu bungkus dan mengikat sayur yang dihargai Rp. 300,00 per ikat. Ada juga pekerjaan menjahit tas perca yang hanya dihargai Rp. 2.500,00 per unit yang dapat dikerjakan dalam waktu satu jam.
Permasalahan pekerja rumahan juga tidak hanya pada jenis pekerjaan dan imbalan yang didapatkan, tetapi juga terkait dengan permasalahan kesetaraan gender. Pekerja rumahan dengan upah yang rendah didominasi oleh perempuan. Secara umum besar upah laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, yaitu Rp. 2.115.072,00 berbanding Rp. 1.644.458,00 (KPPA, 2015). Perbedaan perlakuan dalam pemberian uoah ini disebabkan karena perempuan dianggap bukan sebagai kepala keluarga sehingga tidak mendapatkan tunjangan keluarga, walaupun ada kemungkinan bahwa dia yang harus menanggung seluruh biaya kehidupan keluarganya.
Permasalahan pekerja rumahan cukup sulit diatasi, karena dilatarbelakangi oleh keadaan yang mendesak untuk mencari sumber perekonomian. Bahkan pekerja rumahan terkadang tidak hanya terjadi pada perempuan sebagai ibu dalam rumah tangga, namun bisa juga terjadi pada anak jika memang permasalahan utama keluarga tersebut adalah kemiskinan. Hal ini perlu segera ditindaklanjuti karena jika dibiarkan terus-menerus, keluarga pada masyarakat kalangan pekerja rumahan tersebut bisa terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Perlu upaya dari berbagai pihak, di antaranya pemerintah, pengusaha, warga masyarakat, dan mahasiswa.

PEMBAHASAN

Collaboraction merupakan representasi peran multipihak dalam menyelesaikan masalah pekerja rumahan. Semua pihak harus mengambil peran karena sistem yang terintegrasi dengan baik dapat menghasilkan sesuatu yang lebih berdampak daripada dilakukan secara terpisah satu sama lain. Peran strategis yang diambil dapat dibagi sesuai tanggung jawabnya dalam masyarakat, antara lain :
a.       Pemerintah
Peran yang dapat dilakukan hanya oleh pemerintah terutama adalah membuat kebijakan. Kebijakan ini berperan sebagai payung hukum agar pekerja rumahan mendapatkan perlindungan yang kuat sehingga tidak ada lagi permasalahan seperti misalnya kerugian apabila terjadi kecelakaan kerja yang ditanggung pribadi oleh pekerja rumahan, jam kerja yang tidak menentu, atau pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pengusaha yang dapat terjadi kapan saja.
Sebagai anggota ILO (International Labour Organization), Indonesia seharusnya dapat meratifikasi Konvensi ILO C177 tentang Home Work. Payung hukum juga diperlukan terutama di tingkat Peraturan Kementerian agar memudahkan pembuatan peraturan daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Progress terkait pembuatan kebijakan sebenarnya sudah dilakukan oleh Provinsi Sumatera Utara dan DI Yogyakarta, namun belum sampai pada tahap disahkan. Perlu adanya pemerataan untuk seluruh pemerintah daerah akan kesadaran pentingnya perlindungan pekerja rumahan. Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik juga perlu melakukan pendataan dan kategorisasi terkait jenis pekerja rumahan.
Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi di daerahnya untuk membuat naskah akademik sebagai landasan kajian pembuatan peraturan daerah tentang perlindungan pekerja rumahan. Sangat diperlukan follow up secara rutin hingga akhirnya peraturan daerah tersebut dapat disahkan.
b.      Pengusaha
Hal yang pertama harus dilakukan adalah sosialisasi tentang apa itu pekerja rumahan kepada para pengusaha karena masih banyak yang belum mengetahui definisi yang jelas dari pekerja rumahan itu sendiri. Setelah itu, perlu adanya pembuatan kontrak kerja yang menjelaskan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja rumahan. Kontrak kerja tersebut harus mencakup penjelasan tentang jam kerja, cuti, lembur, jaminan sosial, serta keselamatan dan kesehatan kerja. Pengusaha harus mampu menumbuhkan Perceived Organizational Support (POS), yaitu derajat kepercayaan karyawan bahwa perusahaan menilai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan mereka (Robbins & Judge, 2017).
c.       Masyarakat
Kontribusi masyarakat dapat dilihat dari perannya sebagai LSM yang fokus terhadap isu pekerja rumahan, warga masyarakat secara umum, dan pekerja rumahan itu sendiri. Hal ini sudah dicontohkan oleh MAMPU kemitraan Indonesia-Australia untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, bersama mitra-mitranya khususnya yang concern terhadap pekerja rumahan, seperti yayasan BITRA (Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia), MWPRI (Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia), TURC (Trade Union Right Centre), dan YASANTI (Yayasan Anisa Swasti). Masyarakat dapat bergabung dengan mitra yang sudah ada atau menginisiasi organisasi atau komunitas yang memperhatikan masalah kesejahteraan pekerja rumahan. Tugas utama LSM ini dapat berupa melakukan pencerdasan kepada para pekerja rumahan tentang hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja dan mengusulkan kepada pemerintah untuk segera membuat kebijakan terkait perlindungan pekerja rumahan.
Warga masyarakat secara umum juga dapat mengambil peran dengan cara melaporkan kepada pemerintah, khususnya dinas tenaga kerja jika menemukan kasus pekerja yang tergolong ke dalam pekerja rumahan ataupun yang mendapatkan upah tidak layak dari pekerjaannya. Sementara untuk pekerja rumahan itu sendiri dapat menyatukan kekuatan dengan cara berkumpul lewat organisasi ataupun komunitas dan aktif menyuarakan pendapat mereka kepada pemerintah atau pihak pengusaha yang tidak melaksanakan kewajibannya yang selayaknya.
d.      Mahasiswa
Hal yang dapat dilakukan mahasiswa misalnya melalui kajian yang dilakukan Departemen Kajian dan Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa untuk membahas secara mendalam isu pekerja rumahan. Mahasiswa juga dapat menjadi pengontrol kebijakan yang menyuarakan aksinya pada pemerintah tentang pentingnya segera dibuat peraturan yang berisi perlindungan terhadap pekerja rumahan. Selain kajian, mahasiswa juga dapat melakukan soft movement seperti misalnya membagikan brosur tentang isu pekerja rumahan di titik-titik ramai masyarakat seperti taman kota atau alun-alun sehingga masyarakat menjadi lebih sadar adanya isu pekerja rumahan. Diskusi bersama ataupun seminar juga dapat dilakukan untuk membuka sudut pandang dari berbagai pihak, baik pemerintah, pengusaha, maupun pekerja rumahan di ranah lingkungan akademik. Hal tersebut dapat pula mendorong dihasilkannya naskah akademik dari universitas sebagai bahan pembuatan peraturan daerah.

KESIMPULAN

Penyelesaian masalah pekerja rumahan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau LSM yang fokus terhadap isu tersebut. Penyelesaian masalah dapat berlangsung efektif jika semua pihak saling berkolaborasi memaksimalkan perannya, baik pemerintah, pengusaha, warga masyarakat, pekerja rumahan itu sendiri, serta mahasiswa.

Referensi :

APRILIA, S. F. (2018). JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA RUMAHAN SEKTOR MIKRO (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

Cecil, dkk. (2018). Siapa pekerja rumahan, mengapa kita harus peduli?. Talkshow oleh kbr.id ditayangkan pada 05 September 2018 di Malang, 56 menit 24 detik.

Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Profil tenaga kerja perempuan. Jakarta : Deputi Bidang Perlindungan Perempuan KPPPA.

Robbins, P. R. & Judge, T. A. (2017). Organizational Behavior 17th ed. England : Pearson.

Ros, dkk. (2018). Perlindungan hukum dan dukungan multipihak bagi pekerja rumahan. Talkshow oleh kbr.id ditayangkan pada 03 Oktober 2018 di Medan, 41 menit 42 detik.

Sriyati, dkk. (2018). Pengorganisasian dan pemberdayaan kelompok pekerja rumahan. Talkshow oleh kbr.id ditayangkan pada 19 September 2018 di Yogyakarta, 57 menit 29 detik.

Swastuti, E. (2016). Peran Serta Perempuan Dalam Pengelolaan Usaha Dagang Kecil Dan Menengah (UDKM) Di Jawa Tengah. Media Ekonomi dan Manajemen, 27(1).

Minggu, 28 Oktober 2018

Mengejar Kebahagiaan



Dia tersenyum, apakah sudah pasti dia bahagia?
Dia tertawa, apakah sudah pasti dia sangat sangat bahagia?
Dia terlihat murung, apakah sudah pasti dia tidak bahagia?
Dia menangis meraung, apakah sudah pasti dia sangat tidak bahagia?

Terkadang apa yang terlihat oleh mata, belum tentu sama dengan yang terjadi dalam hati. Seperti itu pula kebahagiaan. Apakah kebahagiaan dapat diukur dengan ekspresi wajah yang terlihat? Belum tentu. Bukankah ada orang yang menutupi kesedihannya dengan senyuman ataupun keceriaan?
Sampai saat ini belum ada alat ukur pasti kebahagiaan. Tidak ada ada definisi yang jelas tentang kebahagiaan. Karena jika setiap orang ditanya tentang apa yang membuatnya bahagia, maka jawabannya berbeda-beda. Seperti layaknya kebanyakan jawaban anak jurusan Psikologi, yaitu ‘tergantung’.

Orang yang kelaparan, bisa jadi sumber kebahagiaannya adalah makanan. Orang yang kekurangan harta, bisa jadi sumber kebahagiaannya adalah harta kekayaan. Orang yang sedang sakit, bisa jadi sumber kebahagiaannya adalah kesehatan. Orang yang memiliki latar belakang broken home, bisa jadi sumber kebahagiaannya adalah keluarga yang harmonis. Ya, sumber kebahagiaan setiap orang berbeda-beda.

Namun, tidak selamanya hal di atas pasti terjadi. Tidak selamanya sumber kebahagiaan berasal dari sesuatu yang kita ‘tidak punya’. Di luar sana, masih banyak orang yang kekurangan harta, kekurangan makanan, atau memiliki fisik yang tidak sempurna, tidak memiliki keluarga yang utuh, namun mereka tetap bahagia. Mereka tetap bisa tersenyum menikmati hidup. Sementara di sisi lain, ada orang yang memiliki harta berlimpah tapi tidak bahagia, ada yang diberi kesehatan tapi tidak menjaga kesehatannya dengan baik, ada yang memiliki keluarga utuh tapi tidak saling menjaga.

Lalu, apa sebenarnya kebahagiaan itu?

Dalam KBBI, kebahagiaan didefinisikan dengan kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir batin); keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir batin. Dari definisi ini, kita mungkin bisa menyoroti pada kondisi lahir dan ‘batin’. Ya, sejalan dengan kondisi batin. Orang yang bahagia tidak hanya dapat diukur dengan ekspresi wajahnya yang tersenyum ataupun tertawa lebar, karena batin kita pun harus merasakan kebahagiaan tersebut. Bahagia menjadi sulit diukur karena batin kita bukanlah hal yang bisa kita observasi secara langsung.

Kebahagiaan bergantung pada ‘nilai’ apa yang kita miliki. Nilai adalah segala sesuatu yang kita anggap penting. Misalnya, jika seseorang memiliki nilai kejujuran. Ia akan bahagia jika ia bisa jujur dalam situasi apapun. Ia tidak akan bahagia jika mendapat nilai memuaskan dalam ujian, tetapi hasil dari perilaku mencontek. Namun ia bisa tetap bahagia meskipun mendapat nilai kurang bagus tetapi hal itu merupakan hasil usahanya sendiri semaksimal yang ia mampu.

Oleh karena itu, milikilah nilai yang tidak dapat diukur, tidak sekadar materi yang dapat terlihat. Terkadang kita tidak bahagia, karena kita salah membandingkan. Kita salah membandingkan diri kita dengan orang yang memiliki hal yang kita ‘tidak punya’, dan hal yang kita ‘tidak punya’ itu merupakan sesuatu yang dapat diukur dalam angka. Cobalah kita membandingkan diri kita dengan orang lain bukan dari segi harta yang ia miliki, bukan dari segi penampilan fisik yang terlihat, bukan pula dari seberapa banyak followers-nya, nah lho. Tapi bandingkan diri kita dengan orang lain dari seberapa banyak kebaikan yang telah diperbuat, seberapa banyak diri kita bermanfaat untuk lingkungan sekitar, dan seberapa baik kualitas akhlak kita.

Di luar sana masih ada orang yang kekurangan harta namun dapat melanjutkan pendidikan, masih ada orang dengan fisik tak sempurna namun tetap berprestasi, dan masih ada orang yang berasal dari keluarga tak ideal namun pada akhirnya bisa membangun keluarga strategis. Semua ini tergantung pada pilihan kita, fokus kepada apa yang kita ‘tidak punya’ dan menjadikannya penyebab ketidakbahagiaan kita, atau memilih fokus kepada apa yang kita ‘punya’ dan memaksimalkannya sehingga membuat kita lebih bersyukur?

 “Orang yang benar-benar bahagia adalah ia yang tidak mengejar kebahagiaan.”

Semoga apa yang membuat kita bahagia adalah sesuatu yang bernilai dan tak terhingga, sehingga kebahagiaan kita pun tak terhingga.

Selasa, 31 Juli 2018

Ini tentang Damai



Damai
Dalam ricuh ia terdiam
Ambang amarahnya tersulut, luhur
Mengorek isi keramaian kebiasaannya
Awaknya rusuh setelah kepalanya penuh
Iktikadnya sejalan asa sesama

Kala panah lidah tak saling menghujam
Di sana pemantik sudah padam
Kala jiwa malang dapat tenang
Di sini nurani segar tak usang
Kala orang kebanyakan tak banyak berberai
Di situlah menurutnya damai tercapai

Ideal memang pemikirannya
Acuh pada makanan batinnya
Mewah peradaban bisa terjamah
Asalkan teraktualisasi dalam jemaah
Disemogakan saja agar segera tercapai
Damai

Kontrol Diri dari Dalam, Rendah Hati pada Alam

Tulisan ini akan lebih banyak bicara refleksi diri, Tentang keberadaan diri yang kadang lupa diri, Tinggal bersama alam namun kita seakan...