PENDAHULUAN
Ketika mendengar kata ‘pekerja
rumahan’, kebanyakan masyarakat mengasosiasikannya dengan pekerja rumah tangga.
Hal tersebut merupakan sebuah kekeliruan karena yang dimaksud pekerja rumahan adalah
seseorang yang mengerjakan sebahagian produksi perusahaan, namun dikerjakan di
rumah atau tempat lain yang dipilih sendiri oleh pekerja (Ros, 2018).
Permasalahan pekerja rumahan tidak sebatas
pada pemahaman terhadap termnya sendiri, namun juga terjadi pada aktivitasnya
di masyarakat. Jam kerja yang dibebankan kepada pekerja rumahan sering tidak
sebanding dengan upah yang dibayarkan. Jam kerja pekerja rumahan di Medan
memiliki rentang 12 bahkan 15 jam per hari dengan kisaran upah Rp. 3.500,00 –
Rp. 15.000,00 per hari sangat jauh dengan UMK Medan yang berada pada kisaran
Rp. 100.000,00 per hari. Pekerja rumahan juga tidak mendapatkan hak-hak seperti
layaknya pekerja formal lainnya, seperti jatah cuti, lembur, jaminan sosial,
serta keselamatan dan kesehatan kerja.
Salah satu hal yang pekerja rumahan tidak
didaftarkan pada jaminan sosial adalah tidak ada perjanjian kerja dengan
pemberi kerja, sehingga antara pekerja dengan pemberi kerja tidak memiliki
hubungan kerja (Aprilia, 2018). Sebsnyak 99% pekerja rumahan tidak memiliki
kontrak tertulis. Data tentang nama, jumlah barang, waktu penerimaan dan
penyetoran barang biasanya hanya terdapat di satu pihak, yaitu pengusaha
(Cecil, 2018).
Jenis pekerjaan rumahan juga biasa dikenal
sebagai pekerjaan borongan. Pekerjaan ini merambah dalam banyak komoditas,
seperti batik (kain, kulit, kayu), tenun, konveksi, meubel (kayu dan rotan),
kulit, tanah (gerabah, dll), makanan, monel, dll. (Swastuti, 2016). Pekerja
rumahan memang banyak secara kuantitas, namun masih perlu dipertanyakan dalam
hal kualitas. Upah yang diterima pekerja rumahan di Indonesia tidak sesuai
dengan jam kerja yang dibebankan. Contohnya pekerjaan rumahan di Malang yang
bekerja mengupas bawang hanya dihitung seharga Rp.1000,00 per kg. Dalam waktu
satu hari dapat dihasilkan satu karung bawang yang berisi sekitar 60 kg yang
dikerjakan oleh 3-4 orang, sehingga rata-rata per orang tidak mendapatkan upah
lebih dari Rp.20.000,00 dalam sehari. Di Kalimantan Barat juga terdapat jenis
pekerjaan rumahan berupa membungkus tempe yang dihargai Rp. 400,00 per satu
bungkus dan mengikat sayur yang dihargai Rp. 300,00 per ikat. Ada juga
pekerjaan menjahit tas perca yang hanya dihargai Rp. 2.500,00 per unit yang
dapat dikerjakan dalam waktu satu jam.
Permasalahan pekerja rumahan juga tidak
hanya pada jenis pekerjaan dan imbalan yang didapatkan, tetapi juga terkait
dengan permasalahan kesetaraan gender. Pekerja rumahan dengan upah yang rendah
didominasi oleh perempuan. Secara umum besar upah laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan, yaitu Rp. 2.115.072,00 berbanding Rp. 1.644.458,00 (KPPA, 2015).
Perbedaan perlakuan dalam pemberian uoah ini disebabkan karena perempuan
dianggap bukan sebagai kepala keluarga sehingga tidak mendapatkan tunjangan
keluarga, walaupun ada kemungkinan bahwa dia yang harus menanggung seluruh
biaya kehidupan keluarganya.
Permasalahan pekerja rumahan cukup sulit
diatasi, karena dilatarbelakangi oleh keadaan yang mendesak untuk mencari
sumber perekonomian. Bahkan pekerja rumahan terkadang tidak hanya terjadi pada
perempuan sebagai ibu dalam rumah tangga, namun bisa juga terjadi pada anak
jika memang permasalahan utama keluarga tersebut adalah kemiskinan. Hal ini
perlu segera ditindaklanjuti karena jika dibiarkan terus-menerus, keluarga pada
masyarakat kalangan pekerja rumahan tersebut bisa terjebak dalam lingkaran
setan kemiskinan. Perlu upaya dari berbagai pihak, di antaranya pemerintah,
pengusaha, warga masyarakat, dan mahasiswa.
PEMBAHASAN
Collaboraction merupakan representasi
peran multipihak dalam menyelesaikan masalah pekerja rumahan. Semua pihak harus
mengambil peran karena sistem yang terintegrasi dengan baik dapat menghasilkan
sesuatu yang lebih berdampak daripada dilakukan secara terpisah satu sama lain.
Peran strategis yang diambil dapat dibagi sesuai tanggung jawabnya dalam
masyarakat, antara lain :
a. Pemerintah
Peran yang dapat dilakukan hanya oleh
pemerintah terutama adalah membuat kebijakan. Kebijakan ini berperan sebagai
payung hukum agar pekerja rumahan mendapatkan perlindungan yang kuat sehingga
tidak ada lagi permasalahan seperti misalnya kerugian apabila terjadi
kecelakaan kerja yang ditanggung pribadi oleh pekerja rumahan, jam kerja yang
tidak menentu, atau pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pengusaha yang
dapat terjadi kapan saja.
Sebagai anggota ILO (International Labour
Organization), Indonesia seharusnya dapat meratifikasi Konvensi ILO C177
tentang Home Work. Payung hukum juga diperlukan terutama di tingkat Peraturan
Kementerian agar memudahkan pembuatan peraturan daerah di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota.
Progress terkait pembuatan kebijakan
sebenarnya sudah dilakukan oleh Provinsi Sumatera Utara dan DI Yogyakarta,
namun belum sampai pada tahap disahkan. Perlu adanya pemerataan untuk seluruh
pemerintah daerah akan kesadaran pentingnya perlindungan pekerja rumahan.
Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik juga perlu melakukan pendataan dan
kategorisasi terkait jenis pekerja rumahan.
Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan
perguruan tinggi di daerahnya untuk membuat naskah akademik sebagai landasan
kajian pembuatan peraturan daerah tentang perlindungan pekerja rumahan. Sangat
diperlukan follow up secara rutin hingga akhirnya peraturan daerah tersebut
dapat disahkan.
b. Pengusaha
Hal yang pertama harus dilakukan adalah
sosialisasi tentang apa itu pekerja rumahan kepada para pengusaha karena masih
banyak yang belum mengetahui definisi yang jelas dari pekerja rumahan itu
sendiri. Setelah itu, perlu adanya pembuatan kontrak kerja yang menjelaskan
hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja rumahan. Kontrak kerja tersebut
harus mencakup penjelasan tentang jam kerja, cuti, lembur, jaminan sosial,
serta keselamatan dan kesehatan kerja. Pengusaha harus mampu menumbuhkan
Perceived Organizational Support (POS), yaitu derajat kepercayaan karyawan
bahwa perusahaan menilai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan mereka
(Robbins & Judge, 2017).
c. Masyarakat
Kontribusi masyarakat dapat dilihat dari
perannya sebagai LSM yang fokus terhadap isu pekerja rumahan, warga masyarakat
secara umum, dan pekerja rumahan itu sendiri. Hal ini sudah dicontohkan oleh
MAMPU kemitraan Indonesia-Australia untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan, bersama mitra-mitranya khususnya yang concern terhadap pekerja
rumahan, seperti yayasan BITRA (Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia), MWPRI
(Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia), TURC (Trade Union Right Centre), dan
YASANTI (Yayasan Anisa Swasti). Masyarakat dapat bergabung dengan mitra yang
sudah ada atau menginisiasi organisasi atau komunitas yang memperhatikan
masalah kesejahteraan pekerja rumahan. Tugas utama LSM ini dapat berupa
melakukan pencerdasan kepada para pekerja rumahan tentang hak dan kewajiban mereka
sebagai pekerja dan mengusulkan kepada pemerintah untuk segera membuat
kebijakan terkait perlindungan pekerja rumahan.
Warga masyarakat secara umum juga dapat
mengambil peran dengan cara melaporkan kepada pemerintah, khususnya dinas
tenaga kerja jika menemukan kasus pekerja yang tergolong ke dalam pekerja
rumahan ataupun yang mendapatkan upah tidak layak dari pekerjaannya. Sementara
untuk pekerja rumahan itu sendiri dapat menyatukan kekuatan dengan cara
berkumpul lewat organisasi ataupun komunitas dan aktif menyuarakan pendapat
mereka kepada pemerintah atau pihak pengusaha yang tidak melaksanakan
kewajibannya yang selayaknya.
d. Mahasiswa
Hal yang dapat dilakukan mahasiswa
misalnya melalui kajian yang dilakukan Departemen Kajian dan Aksi Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa untuk membahas secara mendalam isu pekerja rumahan.
Mahasiswa juga dapat menjadi pengontrol kebijakan yang menyuarakan aksinya pada
pemerintah tentang pentingnya segera dibuat peraturan yang berisi perlindungan
terhadap pekerja rumahan. Selain kajian, mahasiswa juga dapat melakukan soft
movement seperti misalnya membagikan brosur tentang isu pekerja rumahan di
titik-titik ramai masyarakat seperti taman kota atau alun-alun sehingga
masyarakat menjadi lebih sadar adanya isu pekerja rumahan. Diskusi bersama
ataupun seminar juga dapat dilakukan untuk membuka sudut pandang dari berbagai
pihak, baik pemerintah, pengusaha, maupun pekerja rumahan di ranah lingkungan
akademik. Hal tersebut dapat pula mendorong dihasilkannya naskah akademik dari
universitas sebagai bahan pembuatan peraturan daerah.
KESIMPULAN
Penyelesaian masalah pekerja rumahan bukan
hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau LSM yang fokus terhadap isu
tersebut. Penyelesaian masalah dapat berlangsung efektif jika semua pihak
saling berkolaborasi memaksimalkan perannya, baik pemerintah, pengusaha, warga
masyarakat, pekerja rumahan itu sendiri, serta mahasiswa.
Referensi
:
APRILIA,
S. F. (2018). JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA RUMAHAN SEKTOR MIKRO (Doctoral
dissertation, Universitas Airlangga).
Cecil,
dkk. (2018). Siapa pekerja rumahan, mengapa kita harus peduli?. Talkshow oleh
kbr.id ditayangkan pada 05 September 2018 di Malang, 56 menit 24 detik.
Pemerintah
Republik Indonesia. (2015). Profil tenaga kerja perempuan. Jakarta : Deputi Bidang
Perlindungan Perempuan KPPPA.
Robbins,
P. R. & Judge, T. A. (2017). Organizational Behavior 17th ed. England :
Pearson.
Ros,
dkk. (2018). Perlindungan hukum dan dukungan multipihak bagi pekerja rumahan. Talkshow
oleh kbr.id ditayangkan pada 03 Oktober 2018 di Medan, 41 menit 42 detik.
Sriyati,
dkk. (2018). Pengorganisasian dan pemberdayaan kelompok pekerja rumahan. Talkshow
oleh kbr.id ditayangkan pada 19 September 2018 di Yogyakarta, 57 menit 29
detik.
Swastuti,
E. (2016). Peran Serta Perempuan Dalam Pengelolaan Usaha Dagang Kecil Dan Menengah
(UDKM) Di Jawa Tengah. Media Ekonomi dan Manajemen, 27(1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar