Senin, 31 Agustus 2020

Kontrol Diri dari Dalam, Rendah Hati pada Alam

Tulisan ini akan lebih banyak bicara refleksi diri,
Tentang keberadaan diri yang kadang lupa diri,
Tinggal bersama alam namun kita seakan sendiri-sendiri…


Akhir-akhir ini rasanya dingin menggigil menemani momen bangun pagi. Sementara panas di siang hari membuat rasanya tak berani ke luar ruangan menampakkan diri. Nyaman sekali berlama-lama dalam ruangan ber-AC, yang ternyata setelah dilihat lebih jauh, dampak AC memang membuat ruangan dalam bangunan menjadi dingin, sementara ruang terbuka di luar bangunan semakin memanas. Ada apa dengan alam ini? Suhu yang ekstrem kerap kali terasa akhir-akhir ini. Angin yang kadang datang tak bersahabat, juga musim hujan yang datang di musim kemarau, dan musim panas yang kadang datang di musim penghujan. Alam tampak labil, bagai remaja yang kehilangan identitas dirinya, dirusak oleh hal-hal di luar dirinya.

Barangkali, kerusakan alam ini berkaitan dengan manusia. Yang katanya pemimpin di bumi, namun seringkali malah membuat kerusakan karena kepentingan diri sendiri. Ada yang membuka lahan, tapi tak rela mengeluarkan ‘cuan’ untuk penanaman ulang; atau membuka lahan tapi risetnya belum mendalam, ternyata tekstur hutan gambut membuat lahan lebih mudah terbakar namun sulit dipadamkan. Ada yang memelihara hewan langka demi memenuhi kebutuhan kesepian diri, atau anggota tubuh hewan langka yang telah mati demi hiasan di rumah sendiri. Ini semua bentuk perusakan hutan yang kerap kali tak disadari.

Tak perlu jauh-jauh ke hutan, kadang di rumah pun kita lupa bahwa alam juga hidup dan butuh empati. Ada yang membuang sampah tak ditempatnya, ada yang kebanyakan beli makanan via online hingga sampah yang dihasilkan melewati batasan; jajan-jajan yang tak diperhitungkan. Karena tak ingin becek depan rumah, semua area dicor hingga tak ada area resapan. Ada yang karena malas mencuci, popok bayi dan pembalut sekali pakai jadi solusi tanpa henti.

Tampaknya, semua perihal kontrol diri. Apakah kita mau untuk tidak egois dan enak sendiri. Apakah kita mau sedikit lebih banyak mengambil cara-cara yang lebih susah, namun pada alam lebih ramah. Membawa botol minum, kotak makan dan alat makan ke mana saja meskipun berat, memilih makan di tempat dibandingkan dibawa pulang ke rumah untuk mengurangi sampah, atau bahkan mengganti jajanan yang lebih ramah lingkungan seperti buah dan salad, dibandingkan snack-snack lezat dengan ‘micin’ namun berbungkus plastik. Pelan-pelan, kita belajar memilih pilihan kebutuhan-kebutuhan hidup yang rendah hati dan berempati pada alam.

Kadang kala, penggunaan bahan-bahan tak ramah alam memang dibutuhkan,
Namun setelah dilihat lebih peka, ternyata bisa saja diganti dengan yang lebih ramah lingkungan,
Yang penting, kita mau untuk sedikit saja mengorbankan kenyamanan, yang pada akhirnya pun akan jadi kebiasaan...


Sumber :
https://sains.kompas.com/read/2018/08/04/110429123/studi-ungkap-plastik-turut-sebabkan-perubahan-iklim
https://www.youtube.com/watch?v=CJSMs2ufa2w&feature=youtu.be

Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di https://kbr.id/nasional/05-2020/jaga_bumi_sembari_ikut_lomba_blog_perubahan_iklim_/103105.html

Kamis, 14 November 2019

Mengenal Islam dalam Minoritas



Judul : 99 Cahaya di Langit Eropa

Penulis : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tanggal Terbit : Cetakan ke-18, 2015

Jumlah Halaman : 392 halaman

Buku ini merupakan buku yang luar biasa menurut saya. Dapat mengupas Islam di negeri dengan penduduk muslim minoritas. Mencari hikmah di balik kejayaan Islam yang pernah ada di Eropa, menceritakan tentang begitu kuatnya stigma yang menempel pada Islam di tanah Eropa. Begitu luar biasanya dakwah yang bukan sekadar berkoar, namun ditampilkan dengan akhlakul karimah yang lebih menantang.

Buku ini bukan hanya bercerita tentang sejarah Islam, tetapi juga tentang bagaimana bertelorensi. Tentang bagaimana menghargai perjuangan pendahulu, menerima ejekan dengan cara elegan, dan mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan yang ternyata sangat diterima, dikagumi, bahkan sampai tak masuk logika bisa ‘sebaik’ itu.

Buku ini sangat direkomendasikan untuk kamu yang ingin melihat Eropa dari sudut pandang yang berbeda, sudut pandang pencarian Islam dan beragam hikmah di baliknya. Selamat membaca!

Gak Jadi Mahasiswa Biasa Aja



Judul : Kami Bukan Sarjana Kertas

Penulis : J. S. Khairen

Penerbit : Bukune

Tahun Terbit : Cetakan I, 2019

Jumlah Halaman : 355 halaman

Buku ini mengangkat tema tentang dunia yang sangat dekat dengan mahasiswa, tentang dinamika perkuliahan. Dinamika tentang bagaimana berjuang dengan masalah finansial, dengan cita-cita dan segala keraguan yang melingkupinya, tantangan anak perempuan yang dihadapkan dengan pilihan antara pendidikan dan pernikahan, persahabat, percintaan dan segala bumbu-bumbu kehidupan kawula muda.

Pembawaan penulis sangat asyik dan real dengan keadaan di dunia nyata. Penulis bahkan tak ragu menyebutkan beberapa kata-kata frontal yang kerap ditemui. Meskipun gaya penulisan yang sederhana, namun pemaknaannya tak sederhana. Penulis mengajarkan tentang arti perjuangan, perjuangan mahasiswa yang berkuliah bukan hanya mengejar selembar ijazah. Perjuangan bagaimana bisa tetap bertahan dengan tanpa mengandalkan orang tua, perjuangan tentang saling membersamai dan menyemangati tentang teman.

Jika kamu sedang mencari buku yang ringan namun dengan makna yang dalam, aku sangat merekomendasikan buku ini. Selamat membaca!

Kamis, 17 Oktober 2019

Sebuah Cerita Anak Semester 5





Hallo! kenalin gue Widiya Psikologi UI 2017. Melalui tulisan ini, gue mau berbagi tentang dunia perkuliahan, dari awal pendaftaran sampai sekarang sudah di tengah jalan.

Gue tertarik dengan psikologi sejak kelas 3 SMP dan semakin yakin untuk kuliah di jurusan psikologi setelah masuk SMA. Tentunya, tidak semudah itu untuk mendapatkan persetujuan dari orang tua berkuliah di jurusan psikologi. Awalnya dibilang “Kamu mau baca pikiran orang?”, “Kamu mau ngeramal?”, “Psikolog itu lakunya cuma di kota, kalo di daerah emang bisa?”. Banyak stigma yang melekat di jurusan psikologi termasuk juga masalah kesehatan mental. Banyak usaha yang udah gue lakuin dari mulai ngajar diskusi sama orang tua, ngejelasin prospek kerja bidang psikologi, bahkan ampe nangis untuk minta dikasih kepercayaan akan pilihan sendiri yang udah ditentukan.

Singkat cerita, gue coba daftar SNMPTN. Gue anak IPA yang nekat milih soshum jurusan Psikologi UI, udah gitu gue cuma milih 1, padahal maksimal bisa milih 3 pilihan. Hasilnya jelas, gue TIDAK DITERIMA. Di samping itu semua, sebenarnya ada masalah finansial yang menimpa keluarga gue, sehingga waktu itu gue punya pilihan untuk kuliah di tahun itu juga (2017) tapi di daerah sendiri atau kuliah sesuai jurusan yang diinginkan tapi jeda dulu tahun depan untuk ngumpulin biayanya dulu. Selain masalah finansial, ada juga masalah perizinan untuk kuliah di luar kota “kamu itu anak perempuan, kuliah di Jakarta? disana gak punya siapa-siapa?”. Bukan hal yang mudah memang meyakinkan orang tua, tapi dengan usaha dan do’a yang tak pernah putus, insyaAllah bisa.

Setelah ditolak SNPMTN, gue coba daftar SBMPTN. Gue pilih PSIKOLOGI UI (Pilihan 1), PSIKOLOGI UGM (Pilihan 2), dan ILMU EKONOMI UI (Pilihan 3). Kesannya kaya gak mikir dan gak pake perhitungan emang ye gue milih jurusan. Tapi waktu itu, gue mikir kalo gak papa gue pilih yang emang gue pengen aja, yang bagus bagus sekalian gak usah tanggung-tanggung toh kan ini buat nyoba aja dulu dan latihan buat SBMPTN taun depan. H-1 minggu SBMPTN gue GAK DIIZININ SBMPTN sama Bapak. Alasannya adalah bingung gimana ke Jakarta dan siapa yang mau nganter. Alhasil 1 minggu itu gue udah susah fokus buat belajar SBMPTN, gue gak ngambil les sama sekali, dan bahkan cuma belajar dari buku SKS (Sistem Kebut Semalam) itupun punya temen gue. Ya Allah Wid, niat gak sih lu? :(

Tapi Alhamdulillah, waktu itu gue dikenalin sama kakak kelas yang kebetulan kuliah di UNJ tempat gue SBMPTN. Dari dia, gue dapet banyak informasi tentang gimana akomodasi ke sana, dan bahkan mau ngejemput dari stasiun dan nganterin sampe tempat gue ujian SBMPTN. Alhamdulillah, lagi-lagi Allah mudahkan. Waktu itu gue akhirnya dianter Mamah dan 1 temen gue yang kebetulan kebagian SBMPTN di UNJ juga.

Anak IPA yang fully nekad milih soshum. Untuk TPA, Alhamdulillah gak banyak masalah karena gue udah sering berlatih sama temen-temen SMA juga. Untuk TKD, wah warbyasah, ada sosiologi, sejarah, ekonomi, dan geografi, Untuk sosiologi masih mending karena gue dapet materinya waktu kelas 1 SMA, sejarah setidaknya gue pun masih belajar, ekonomi sama geografi udah pokonya isi aja pake nalar. Waktu itu gue ngisi sekitar 60an dari 90an soal TPA. Dan 50an dari 60an soal TKD, pas ngisi TKD itu gak tau kenapa pokonya gue mikir "gak papa isi aja sebanyak-banyaknya” setidaknya waktu itu masih ada sistem (benar = 4, salah = -1). Keluar dari ruang ujian, pokoknya gue serahin semuanya sama Allah, meskipun gak tau dah ngisi soalnya bener atau salah.

Senin, 29 Juli 2019

Bicara Tabu : Perkosaan, Dorongan Seksual atau Hal Lain?



Judul : Perkosaan dan Kekuasaan

Penulis : Bagus Takwin, dkk.

Penerbit : Yayasan Jurnal Perempuan

Tanggal Terbit : November 2011

Jumlah Halaman : 153 halaman

Buku ini sebenarnya merupakan jurnal berseri yang terbit setidaknya empat kali dalam setahun. Namun, topik yang dibahas dalam edisi ke-71 ini cukup menarik untuk saya buat reviewnya, terlebih saya memang memiliki ketertarikan dalam bidang perempuan dan anak, khususnya tentang pendidikan seksual.

Berbicara tentang perkosaan ternyata bukan hanya berbicara tentang dorongan seksual, tapi juga berbicara tentang kekuasaan. Alasan utama dibalik pelaku perkosaan bisa jadi bukan ketidakmampuan menahan dorongan seksual saja, tapi yang lebih utama adalah menunjukkan bahwa ia memiliki kekuasaan, memiliki dominasi terhadap perempuan. Pelaku tidak memperkosa korbannya tiba-tiba tanpa perencaan. Ia akan memilih korban tergantung seberapa besar ia bisa menguasainya.

Buku ini cukup direkomendasikan karena di dalamnya tidak hanya bicara opini belala, namun disertai rujukan ilmiah. Ada pula tulisan opini, cerita reflektif, dan puisi yang menjadi representasi topik yang dibahas. Sangat direkomendasikan terutama buat kamu yang bergelut dalam bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Selamat membaca!

Bicara Hati



Judul : Hati tak Bertangga

Penulis : Adi Prayuda dan Ikhwan Marzuqi

Penerbit : Metagraf

Tahun Terbit : Cetakan I, 2019

Jumlah Halaman : 226 halaman

Buku ini cukup sederhana, membahas hal-hal kecil namun ternyata punya makna yang besar. Dari buku ini kita bisa belajar kemampuan berlogika dan berperasaan. Tanpa saling menunjukkan kelemahannya masing-masing, namun bagaimana kita menyeimbangkan keduanya.

Membaca buku ini seperti diajak melakukan perjalanan ke dalam diri. “Bahagia memamg sederhana, menderita juga sederhana”, begitu tulis penulis dalam sampulnya. Ini berbicara tentang penerimaan, penerimaan diri juga hidup yang kita miliki.

“Ukuran terindah memcintai adalah mencintai tanpa mengukurnya”, kutipan dari Guruji Gede Prama ini cukup bisa menggambarkan tentang apa maksud dari judul ‘Hati tak Bertangga’. Buat kamu yang sedang butuh teman untuk berdialog dengan diri, buku ini saya rekomendasikan! Selamat membaca!

Rabu, 03 Juli 2019

Sebuah Jalan Pemurnian Hati



Judul : Purification of the Heart

Penulis : Hamza Yusuf

Penerjemah : Haris Priyatna

Penerbit : Mizan

Tanggal Terbit : Cetakan I, Februari 2017

Jumlah Halaman : 318 halaman

Buku ini sangat direkomendasikan bagi kamu yang menyukai buku-buku yang membahas tentang akhlak maupun mujahadatun-nafs (penyucian jiwa). Buku yang ditulis oleh Hamza Yuzuf, salah satu pendiri Zaytuna College di AS ini berisi tentang penjelasan penyakit-penyakit hati, penyebabnya, tanda dan gejalanya, serta pengobatannya.

Terdapat 25 penyakit hati yang dibahas, antara lain : kikir; serakah; benci; zalim; cinta dunia; iri hati; santun yang tercela; berkhayal; takut miskin; riya; bergantung pada selain Allah; tak senang dengan keputusan Allah; sum’ah; harapan palsu; pikiran negatif; ujub; menipu; amarah; lalai; dendam; membual dan sombong; tidak mau disalakan; antipati terhadap kematian; lupa akan nikmat; dan menghina.

Buku ini tentunya akan sangat baik, jika tidak hanya dibaca namun yang terpenting adalah diamalkan isinya. Jika kita mengamalkan isinya, kita akan bisa meraih ketenteraman dan kemurniah hati, insyaAllah!

Kontrol Diri dari Dalam, Rendah Hati pada Alam

Tulisan ini akan lebih banyak bicara refleksi diri, Tentang keberadaan diri yang kadang lupa diri, Tinggal bersama alam namun kita seakan...